Selasa, 07 Juni 2011

Pilih DVD atau ke Negeri Tetangga

Kisruh bea masuk impor film Hollywood hingga kini masih dirasakan dampaknya bagi para penikmat film.Penggemar pun terpaksa mencari cara lain agar dapat menikmati film Hollywood.

Pilihannya bisa membeli cakram DVD atau menyaksikan film di bioskop negeri tetangga. Artis sinetron dan presenter Ibnu Jamil menyayangkan kisruh yang tidak juga teratasi.
Dia pun rela mengajak putranya untuk bisa menyaksikan langsung film Transformer 3 di bioskop di Singapura.”Saya janji begitu sama anak saya karena dia suka sekali film itu,”kata Ibnu kepada SINDO kemarin.

Dampak lain dari kisruh bea masuk ini adalah penurunan jumlah penonton di bioskop Indonesia.Penurunan itu signifikan, bahkan mencapai 50%. ”Biasanya di sini 1.000 orang per hari.Kini hanya berkisar 300 sampai 400 pengunjung,” ujar Devi,karyawan XXI Season City,Jakarta.

Di Bioskop XXI Gajah Mada Plaza pun memperlihatkan kondisi serupa.Diah, karyawan di Bioskop XXI Gajah Mada Plaza,mengaku merasakan penurunan penonton. Sebulan terakhir penikmat film impor asal Hollywood sebenarnya bisa sedikit tersenyum. Sejak awal Mei,Direktorat Jenderal Bea Cukai sudah membolehkan salah satu dari tiga importir utama film-film asing di Indonesia untuk kembali mengimpor film.

Perusahaan yang sudah diperbolehkan itu adalah PT Amero Mitra yang telah melunasi tagihan bea masuk sebesar Rp9 miliar.Sementara denda yang besarnya sepuluh kali dari besar biaya tunggakan belum dibayar.Toh,perusahaan ini sudah boleh mengimpor film lagi.Dua perusahaan lain,PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Estetika,belum melunasi tagihan bea masuk impor film,termasuk pembayaran dendanya.

Walau begitu,penikmat film impor terutama Hollywood belum bisa sepenuhnya gembira.PT Amero Mitra adalah perusahaan yang khusus mengimpor film-film non-MPA (Motion Pictures Association), yaitu asosiasi yang membawahi studio-studio besar Hollywood.Sementara dua ‘saudaranya’,yang biasanya mengimpor film MPA,belum melunasi tagihan hingga belum bisa mengimpor film.

 Tak kunjung selesainya permasalahan impor film membuat penikmat film lagilagi harus bersabar.Jika masalah ini masih berlarutlarut, mereka juga harus rela untuk tidak bisa menonton film-film Blockbuster yang rilis pada Juni–Agustus nanti. Blockbuster adalah istilah bagi film-film berbujet besar yang dirilis studio-studio besar di bawah naungan MPA saat liburan musim panas.

Film-film yang masuk di Blockbuster tentu saja film yang sangat ditunggu masyarakat dunia seperti Harry Potter and The Deathly Hallows Part II yang juga menjadi bagian akhir dari seri Harry Potter,Transformer 3, Green Lantern yang diangkat dari komik DC,dan Cars 2 yang diproduksi Pixar Animation Studios.Film-film ini dijadwalkan rilis pada Juni dan Juli.

 Cari Solusi

Mencari solusi kisruh ini, pemerintah memastikan mengkaji pajak royalti atas film asing atau film impor. Tujuannya agar hubungan pemerintah dan importir film asing bisa saling menguntungkan. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sedang merancang pembuatan pajak royalti atas film asing.

”Kita sedang mengkaji apakah ada bentuk pajak yang lebih baik atau tidak.Kita sedang mengkaji,tapi belum dilakukan finalisasi,”kata Agus Martowardojo di Jakarta belum lama ini. Dengan pajak royalti tersebut, kata Agus,pemerintah bisa mencari bentuk hubungan yang sama-sama menguntungkan antara pemerintah dan importir film asing.

Terkait tiga importir film asing yang menunggak pembayaran pajak atas royalti film impor,Agus membenarkan,sejauh ini satu dari tiga importir film asing telah melunasi pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Sedangkan dua importir film asing lain masih menunggak.

”Bagi yang sudah membayar pajak,silakan mengimpor film, tapi bagi dua importir lain kita imbau untuk segera membayar pajaknya,”ungkap Agus. Sejauh ini,lanjut dia,dalam impor film asing tersebut terdapat tiga jenis penerimaan negara.Pertama pajak pertambahan nilai (PPN), pajak royalti,dan ada pembayaran bea masuk.

Agar lebih sederhana,pemerintah akan menegaskan kembali semua biaya tersebut dalam bentuk pajak royalti film asing. Sebelumnya pemerintah memblokir tiga perusahaan importir film asing karena tidak membayar royalti atas film impor yang diputar di dalam negeri atau jangka waktu yang diberikan pemerintah untuk melunasi utang-utangnya selama 60 hari diacuhkan.

Tercatat,royalti yang belum dibayarkan sebenarnya sudah terjadi sejak 1995.Namun,audit terakhir menetapkan bahwa royalti yang belum dibayarkan diambil untuk dua tahun terakhir. Total royalti yang belum dibayar tersebut mencapai Rp31 miliar di luar denda sebesar 400– 1000%.

Kisruh impor film Hollywood ini,menurut pengamat film,JB Kristanto,berawal pada zaman Orde Baru saat importir film menjadi sapi perah pemerintah lewat pungli dan bagi-bagi lisensi. Demi memudahkan ”memerah” importir,monopoli impor film diberikan pada PT Suptan Film,yang menjadi cikal bakal lahirnya Grup 21.

Kedua pihak ini ‘berunding’ untuk menetapkan bea masuk yang disepakati untuk kemudian dipukul rata sebesar USD43 sen per meter untuk film Amerika dan Eropa dan USD35 sen untuk Asia, Australia,dan Selandia Baru. Padahal,penentuan bea masuk seharusnya didasarkan pada harga kontrak jual beli film.

Singkat kata,lewat perundingan ini,importir film diuntungkan dengan membayar bea masuk lebih ringan. ”Saran saya,biarkan saja MPA buka kantor distribusi di Indonesia. Seperti label rekaman musik asing yang buka distribusi di sini dan bisa membuat album di sini.

MPA dikenakan pajak layaknya perusahaan asing,jadi menghindari perundingan jalan belakang seperti yang sudah terjadi selama ini,”kata JB Kristanto pada SINDO.Namun, agar MPA bisa membangun kantor di Indonesia,pemerintah harus membuat undang undang terlebih dahulu. (ilham safutra/herita endriana/bernadette lilia nova) 

0 komentar:

Posting Komentar