Kamis, 02 Juni 2011

Kontrak Asing Dikaji Ulang

(Jakarta, SINDO): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kiri), Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden RI ke-3 BJ Habibie saat berpidato pada peringatan Hari Kelahiran Pancasila, di Jakarta, kemarin. Hari lahir Pancasila bertepatan dengan pidato bersejarah Bung Karno 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI.

Pemerintah tengah melakukan reviu terhadap kontrak-kontrak investasi perusahaan asing. Reviu tersebut perlu dilakukan untuk menciptakan keadilan dalam kontrak kerja sama.

Apabila tinjauan pemerintah menemukan kontrak-kontrak yang mencederai rasa keadilan, pemerintah akan mengambil langkah renegosiasi dengan perusahaan asing tersebut. Langkah ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberi sambutan pada acara penyampaian laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) di Istana Negara kemarin.

Presiden manandaskan,pemerintah tidak bisa langsung menasionalisasikan perusahaan- perusahaan asing tersebut karena akan menimbulkan penalti yang harus ditanggung oleh negara. Menurut dia, pemerintah melihat peluang renegosiasi kontrak-kontrak tersebut melalui cara-cara yang baik. Dengan demikian, prosesnya berjalan logis, adil,dan membawa sebesar-besarnya manfaat bagi Indonesia.”Ke depan tidak ada lagi kontrak yang tidak adil demi kepentingan apa pun, apakah itu pertimbangan politik, finansial, maupun kelompok tertentu,”katanya.

Presiden mengakui kontrakkontrak yang dibuat pemerintah dengan perusahaan asing pada masa lalu memang belum adil karena Indonesia saat itu sangat memerlukan investasi untuk perkembangan ekonomi dan tidak memiliki posisi tawar sekuat sekarang. ”Saya tidak akan menyalahkan masa lalu.

Bisa jadi dulu memang kita memerlukan investasi untuk ekonomi, kita barangkali ‘bargaining position’-nya tidak sekuat sekarang,”ungkapnya. Menteri Keuangan Agus Martowardoyo menggariskan bahwa pemerintah pada dasarnya menghormati kontrak dengan perusahaan asing. Namun, pengkajian ulang harus dilakukan untuk memperbaiki kontrak yang dinilai belum adil.

“Pada 2011 ini kita itu ada banyak kontrak-kontrak dalam arti kontrak karya dan lain-lain yang perlu direviu apakah ini win-win atau tidak,apakah ada yang abnormal. Nah, itu yang mau direviu dan nanti tentu akan dikaji,’’ tuturnya. Agus enggan menyebutkan perusahaan apa saja yang kontraknya akan dikaji ulang oleh pemerintah. Namun, dia menyebut kontrak tersebut lebih banyak ke sumber daya alam.

Soal berapa kerugian akibat kontrak tidak adil itu,mantan Dirut Bank Mandiri itu mengaku, sejauh ini pemerintah belum pernah menghitung kerugian negara akibat itu. Dia lantas menuturkan, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan negara, penciptaan lapangan kerja, dan nilai tambah di Indonesia sehingga pengkajian ulang kontrak-kontrak tersebut diperlukan.

Selain itu, beberapa hal penting juga belum dipertimbangkan pada saat kontrak tersebut dibuat seperti kewajiban menjaga lingkungan hidup dan kewajiban-kewajiban lain kepada negara. Menteri BUMN Mustafa Abubakar menegaskan,BUMN siap apabila diprioritaskan untuk menangani pengolahan sumber daya alam di Indonesia. Renegosiasi kontrak dilakukan semata-mata karena pemerintah ingin yang paling bagus dan paling adil bagi republik.

“Yang dimaksud Pak SBY adalah kontrak-kontrak lama menyangkut biji besi, nikel, batu bara yang masa lalu.Kalau yang dengan BUMN sudah kontrak baru.Yang pasti kita siap, kan Pak SBY sebutkan untuk utamakan BUMN,”katanya. Sebelumnya, pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Presiden SBY juga menyinggung pentingnya keadilan dalam kontrak kerja sama di bidang ekonomi.

Presiden berharap kontrak-kontrak kerja sama yang tidak seimbang tersebut bisa dihilangkan di masa depan.“Kita lakukan kontrak-kontrak baru (yang) benar dan adil.Mari kita ubah agar tidak terjadi lagi di masa depan,” papar Presiden di Gedung MPR kemarin. Pernyataan mantan menkopolkam itu seolah menanggapi sentilan mantan Presiden BJ Habibie pada pidato di tempat yang sama.

Habibie yang mendapat giliran pidato pertama mengungkapkan kekhawatirannya mengenai neokolonialisme atau ”VOC-baju baru”di era globalisasi. Praktik VOC baru tersebut diwujudkan dalam banyak hal seperti pengalihan kekayaan alam suatu negara ke negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produkproduk ke negara asal.

Praktik seperti itu membuat bangsa Indonesia seperti ”membeli jam kerja”bangsa lain. “Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita,suatu ‘VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan baju baru’,” ungkap Habibie. Habibie mengingatkan keadilan harus tetap ditegakkan seperti apa yang tertuang dalam sila kelima Pancasila.

Keadilan itu bisa diwujudkan dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Pancasila Telah Tersandera

Dalam pidato peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Habibie menilai bahwa 66 tahun setelah kelahirannya, Pancasila justru kini tersandera di tengah hiruk-pikuk perubahan zaman. Pancasila juga seolah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu dan hilang dari memori kolektif bangsa.

“Pancasila seperti tersandera di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik,” papar Habibie. Presiden RI ketiga itu menjelaskan, ada sejumlah alasan mengapa Pancasila seolah lenyap dari kehidupan bangsa Indonesia.

Pertama,karena situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik,regional,maupun global.Kedua, karena terjadi euforia reformasi sebagai akibat dari trauma masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila.

Untuk mengimbangi perubahan zaman,lanjut Habibie, nilai-nilai Pancasila perlu direaktualisasi sehingga nilainilainya tetap bisa menjadi acuan bangsa. Mantan wakil presiden di era Soeharto itu mengakui di masa lalu terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan masif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai ”tidak Pancasilais” atau ”anti-Pancasila”.

Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era Reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik. Habibie merupakan satu dari tiga Presiden Indonesia yang berpidato pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 kemarin.

Habibie yang mendapatkan giliran pidato pertama mendapat aplaus meriah dari hadirin, bahkan standing applause. Selain Habibie,Presiden SBY dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri juga berpidato dalam forum tersebut. Acara ini dihadiri Wakil Presiden Boediono, mantan Wapres Try Sutrisno serta Hamzah Haz, mantan Ibu Negara Shinta Nur Wahid, Ny Umar Wirahadikusumah, Ketua MPR Taufik Kiemas, jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, serta anggota DPR.

Kehadiran Megawati dan SBY dalam satu momen kemarin bisa disebut istimewa karena keduanya sangat jarang bertemu. Pertemuan terakhir terjadi pada jamuan makan malam kenegaraan menyambut kedatangan Presiden Barack Obama di Istana Merdeka, 9 November 2010. Kendati demikian, Megawati dan SBY belum menunjukkan keakraban. Hal itu terlihat ketika Mega selesai membacakan pidato.

Setelah berpidato sekitar seperempat jam Mega turun dari podium dan disambut jabat tangan Ketua MPR yang juga suaminya, Taufik Kiemas. Setelah bersalaman dengan Taufik,Ketua Umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu langsung berjalan menuju tempat duduknya, tanpa menyalami SBY.

Megawati juga tidak menyalami sederet tokoh nasional yang hadir dan duduk di deretan kursi terdepan, antara lain Wakil Presiden Boediono, Ibu Ani Yudhoyono, Ibu Herawati Boediono, Jusuf Kalla, BJ Habibie, Try Sutrisno, dan Hamzah Haz. Pemandangan berbeda ditunjukkan Habibie yang berpidato sebelum Megawati.

Sesudah berpidato penuh semangat Habibie turun podium dan menyalami semua tokoh yang duduk di deret terdepan, termasuk Presiden SBY. SBY sendiri sebelum berpidato sempat menyapa Megawati, juga kepada Habibie serta para mantan wakil presiden yang hadir.Dalam pidatonya tokoh asal Pacitan itu bahkan memuji pidato Megawati.

Dalam pidato Megawati Soekarnoputri mengingatkan bahwa Pancasila tidak bisa tidak mesti berbicara tentang Bung Karno. ”Saya setuju apa yang disampaikan Ibu Megawati, tidak mungkin bicara Pancasila tanpa bicara Bung Karno. Rumusan-rumusan berubah dari masa ke masa, tapi substansi Pancasila tidak berubah, yakni yang disampaikan Bung Karno dalam pidato di depan BPUPKI,” kata Presiden SBY yang disambut riuh para tamu undangan yang hadir. (maesaroh/ant)

0 komentar:

Posting Komentar